Minggu, 13 Februari 2011

Ternyata, dalam kehidupan ini, kita sebagai manusia seringkali melupakan atau bahkan tidak ambil pusing terhadap segala sesuatu yang ada disekitar kita. Entah itu bersikap tidak perduli ataupun justru karena terlalu sibuk dengan urusan dan pekerjaan sehari-hari, kita tidak menyadari hal terpenting dari hidup kita sendiri. Hal besar yang justru menjadi begitu kecilnya, hingga kita tidak menyadari atau bahkan tidak menganggapnya ada.
                 Lalu, apakah hal tersebut? Ya, hal-hal yang sering terlewat oleh perhatian kita sebagai manusia yang terlalu disibukkan oleh aktifitas yang makin padat setiap detiknya. Misalnya saja sikap kasih. Kasih merupakan akar utama dari banyak hal perbuatan positif yang dapat kita berikan, tidak saja bagi orang terdekat kita, namun juga bagi banyak orang lain. Termasuk orang-orang yang kita juga tidak kenal secara pribadi.
                Kasih menciptakan suatu titik dasar yakni sikap “peduli”. Sikap yang menjadi awal mula dari suatu perbuatan baik kita untuk orang-orang disekitar kita.
                Nah, kesibukan inilah yang tanpa disadari justru menjauhkan diri kita sebagai manusia secara hakiki pada sikap “peduli” tadi.
              Anda tidak perlu berfikir jauh. Banyak cara melakukan kepedulian. Banyak orang juga melakukan kepeduliannya dengan mengusung kepedulian terhadap anak-anak terlantar, penderita Aids, kelaparan, bencana alam, dan masih banyak lagi.
              Tetapi, ada yang terlewatkan. Apakah Anda menyadarinya? Kasih tidak bermula dari sesuatu yang besar atau bercakupan luas. Kasih muncul dari cakupan terkecil yang maknanya ternyata sangat besar dalam kehidupan kita. Ya, benar, itu adalah keluarga. Dari keluarga, kasih akan menjalar mewarnai kehidupan dalam persahabatan kita, menjalar kembali dalam kehidupan pekerjaan kita, terus dan terus. Hingga kasih akan menjalar mewarnai sesuatu yang sifatnya lebih besar lagi bahkan bersifat global.
             Bagaimana tidak? jika kita tidak dapat mengasihi orang terdekat, yakni keluarga kita sendiri, tidak akan mungkin kita dapat dikatakan mengasihi orang lain. Seringkali kita justru terlalu mengambil peduli yang baik pada keadaan dan keprihatinan terhadap sesama (orang lain) dan melewatkan keluarga kita sendiri. Bagaimana mungkin, kita dapat mengasihi secara tulus sesama kita dalam cakupan lebih luas lagi, jika kita tidak memiliki kasih yang besar pada orangtua kita, pada adik/kakak, pada anak, pada suami, pada istri, pada anggota keluarga lainnya. Disaat Anda mengatakan kepedulian Anda untuk para korban perang, para korban bencana-dan di waktu yang sama Anda sangat tidak mengasihi istri Anda, suami Anda, orang tua Anda atau anak Anda sendiri. Menurut saya pribadi, Anda tidaklah memiliki kasih sejati jika demikian. Menurut Anda?
            Saya sendiri seringkali melewatkan atau bahkan tidak terpikirkan hal tersebut. Rasanya benci sekali terhadap suami saya, jika kami sedang bertengkar. Rasa menyebalkan sekali mendengarkan ocehan-ocehan, rengekan-rengekan orang tua atau mertua saya. Rasanya bosan banget terus terusan mendengarkan keluh kesah sahabat saya, yang dari waktu ke waktu permasalahannya itu-itu saja.
           Tetapi pasti ada suatu peristiwa yang terjadi dalam hidup kita, yang merupakan peringatan lembut dan sabar dari Tuhan. Sentuhan-sentuhan kecil yang dapat menyadarkan diri kita saat itu juga.  Sentuhan-sentuhan lembut yang tidak akan mungkin kita rasakan jika kita tidak membuka hati kita secara jujur dan tulus.
            Kemarin, saya disadarkan lagi melalui 2 momen sekaligus.
            Momen yang pertama adalah ketika saya menghadiri misa mengenang wafat Isa Almasih-Jumat Agung di gereja. Tidak ada kasih yang lebih besar, dari kasih seseorang yang rela menyerahkan nyawa bagi para sahabatnya. Kasih sejati Allah yang luar biasa terhadap manusia yang tetap terus tidak pernah menyadari akan kasihNya yang besar. Manusia yang selalu lupa bersyukur-tenggelam dalam deretan keluhan dan protesnya terhadap kehidupan dunia yang tidak pernah dianggapnya indah.
            Sedangkan momen yang kedua, adalah ketika siang harinya, seorang sahabat saya menelepon dan memberitakan kabar duka cita, bahwa ibunya dipanggil Tuhan saat itu juga. Inailahi…
           Kaget bukan kepalang, setengah sadar dan tidak, saya turut merasakan rasa kehilangan yang sangat sahabat saya ini. Karena ibunda tercinta hanyalah tinggal satu-satunya orangtua yang ia miliki sejak ayahnya telah mendahului menghadap sang Pencipta bertahun silam.
           Saya dan suami langsung berangkat ke rumah duka yang saat kami datang jenasahnya telah rapi terbungkus kain kafan diiringi dengan alunan syahdu penuh kidmad pengajian dan doa yang dipanjatkan seluruh keluarga dan sahabat. Tidurlah tenang, tante…dan selamat jalan…
          Menjadi yatim piatu bukanlah keinginannya saat ini, dimana tiada lagi tempatnya berteduh-kasih murni dari orangtua terhadap anaknya. Walaupun ketika hidupnya, belum tentu kita dapat memaknainya sedalam ini.
          Kasih dari orang terkasih dalam hidup yang terkadang baru kita rasakah besar maknanya setelah orang tersebut meninggalkan kita untuk selamanya. Tanpa sempat memberitahukannya, bahwa dari lubuk hati terdalam kita mencintai dan mengasihinya dengan segenap jiwa dan raga. Perasaan yang selalu tersumbat untuk dialirkan keluar saat orang tersebut masih ada di depan kita.
          Dari uraian yang cukup panjang diatas, saya hanya ingin berbagi. Bahwa kita sebagai manusia seringkali terlupakan kasih yang paling dasar. Yang merupakan landasan, akar dan asal mula kasih di dunia ini. Tuhan yang maha kuasa adalah sumber kasih abadi, tidak akan pernah berkesudahan aliran sungai kasihNya menyegarkan dahaga kita. Dan, kasih pada orang-orang terdekat kita-keluarga kita sendiri.
          Tunjukkanlah kasihmu saat ini juga, dengan bentuk sikap kepedulian kecil yang pasti memiliki nilai dan makna dasyat bagi orang yang menerimanya. Tunjukkan kepedulianmu pada para sahabatmu, teman-temanmu, dan orang-orang disekitarmu. Barulah dunia dapat merasakan kasih sejati yang kita tawarkan.